Adapun sumber segala kehidupan adalah langit. Langit
artinya bukan bumi. Arti lebih luasnya adalah bukan dunia atau bukan termasuk
alam materi. Langit artinya sesuatu yang lebih tinggi dari bumi. Lebih tinggi
dalam artian konsepsional. Sebagaimana sebab mendahului akibat. Dapat dikatakan
sebab memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari akibat.
          Adapun sari kehidupan adalah gerak dan perubahan. Dan gerak
memerlukan energi. Karena energi-lah melakukan gerak. Perubahan tiada lain
adalah efek-efek gerak, ia pun memerlukan energi. Dari mana datangnya energi
untuk seluruh kehidupan di bumi? Dari matahari, sang surtya yang senantiasa
perkasa menebarkan milyun-milyun-milyun……. fotonnya ke jagat raya. Dan
sepercik, -sebagian amat kecil-, dari foton-foton itu sampai ke bumi,
menghidupi berjuta tanaman, tanaman menghidupi berjuta hewan, hewan dan tanaman
menghidupi brjuta hewan lain maupun manusia. Sumber enegri semua kehidupan di
bumi adalah energi matahari.
          Adapun mentari dalam sya;ir di atas memiliki tafsiran kias
yang lebih luas. Mentari diartikan sebagai Cahaya Wujud Mutlaq, sumber
iluminasi semua wujud lain. Mengapa? 
          Perhatikan sebuah benda. Ia tak akan tampak ada tanpa
adanya cahaya. Baik dari segi obyektif maupun subyektif. Dalam kegelapan
mutlak, tiada akan tampak wujud apapun, lebih dalam lagi. Perhatikan sebuah
benda. Ia adalah materi. Telah diketahui bahwa massa tiada lain adalah energi
yang diam terkungkung dalam suatu struktur tertentu. Dengan kondisi tertentu ia
dapat berubah menjadi energi. Energi dalam bentuk apa? Cahaya! Inilah yang
terjadi pada bom maupun matahari. Jadi dalam relung-relung atomik sati-sari
benda tiada lain adalah cahaya.
          Karena itu dalam sya’ir ini cahaya digunakan untuk
mengkiaskan sesuatu yang lebih umum lagi, yiatu ‘kebendaan’ suatu benda.
Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip niscaya rasional dalam diri kita
senantiasa menanyakan pada kita mengapa dunia ini ada, mengapa ini ada, mengapa
itu ada? Segala sesuati yang maujud membutuhkan Sebab. Dan sebab itu-lah yang
memberikan eksistensi padanya. maka dapat kita buat rantai-rantai pertanyaan
kenapa ini ada, misalnya jawabnya karena x1 (sesuatu pertama) ada. Selanjutnya
dapat kita tanya lagi, kenapa x1 ada (sesuatu kedua) ada, jawabnya karena x2,
dan seterusnya. Maka tiada mungkin rantai ini tidak berawal, seandainya ia
tidak berawal dari-mana semua mata-rantai lain memperoleh eksistensinya? Jadi
pasti harus ada satu ujung sebab yang memiliki eksistensi mandiri, tidak
tergantung kepada lain. sebab ini keberadaannya harus dan ketiadaannya
mustahil.
          Sebab pertama adalah Keberadaan Mutlaq (Al-Wujud Al-Muthlaq). Artinya jawaban
dari pertanyaan apa itu sebab pertama, adalah sebab pertama adalah keberadaan
itu sendiri. Karena jika sebab pertama itu sesuatu selain keberadaan maka ia
harus memiliki sebab lain yang memberinya keberadaan. Dan karena ternyata iru
masih memiliki sebab, maka ia bukan sebab pertama. Namun kalau ia tidak
memiliki sebab lain, maka ia tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak ia
miliki. Yakni keberadaan. Padahal, secara aprior, kita yakini bahwa kita dan
hal-hal lain itu ada secara real. Artinya realitas membenarkan adanya
keberadaan bukan subyektif atau imajinatif.
          Sebab pertama itu tunggal. Kenapa? Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Atau wujud qua wujud. Misal ada dua ujung rantai
sebab, dengan kata lain ada dua sebab pertama. Dan sebab pertama satu adalah
keberadaan itu sendiri. Misal sebab pertama kedua adalah sesuatu selain sebab
pertama satu. Maka ia adalah sesuat yang bukan keberadaan itu sendiri dan
artinya ia bukan sebab pertama. Jadi jika ada dua ujung rantai sebab, kedua
sebab pertama tersebut harus identik. Argumen ini dapat dikembangkan untuk
berapapun ujung rantai sebab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, jika ada banyak
ujung rantai sebab, maka mereka semua harus identik. Artinya hanya ada satu sebab
pertama. Satu yang tidak mempunyai kemungkinan sama sekali untuk dijumlahkan
menjadi dua. Argumen ini berdasarkan suatu premis bahwa  keberadaan mempunyai makna yang ekivalen pada semua yang maujud,
pada Wujud Wajib maupun Wujud Mumkin. (Lihat
Carutan Wahdatul-Wujud, Sayyidina Musa Husein Al-Bangili Al-Habsyi dan
Syarhe-Mandzhumah, Mulla Hadi Sabzavary). Sebagai sebuah contoh argumen
sederhana dari premis ini adalah bahwa ketiadaan A, ketiadaan B dan ketiadaan
segala sesuatu memiliki maksa yang identik. Maka karena ketiadaan segala
sesuatu memiliki makna yang identik, keberadaan A, keberadaan B, keberadaan
segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan
B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan
A, ketiadaan B, ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik. Dan
sesuatu yang secara subyektif identik (satu) pasti secara obyektif satu adanya,
sebagaimana bahwa satu bayangan pada cermin tidak mungkin dihasilkan oleh dua
obyek  di depan cermin.
          Sebab pertama itu tidak terbagi. Tidak terbagi dalam arti
logis. Artinya tidak mungkin tersusun atas sesuatu-sesuatu lain yang lebih
kecil. Kenapa? Kalau ia terbuat dari sesuatu-sesuatu yang lain yang lebih
kecil, maka sesuatu-sesuatu yang lain lebih kecil itu apa? Jika salah satu dari
sesuatu-sesuatu yang lebih kecil itu adalah keberadaan mutlak maka yang lainnya
adalah ketiadaan mutlak. Dan karena yang lain adalah ketiadaan mutlak berarti
sesuatu-sesuatu yang lain itu tidak ada. Jadi hanya ada satu sesuatu yang tidak
lain adalah keberadaan mutlak itu sendiri. Jika tidak ada diantara
sesuatu-sesuatu itu yang merupakan keberadaan, maka darimana mereka memiliki
keberadaannya? Tentu memerluka sebab. Lebih lanjut, jika sebabnya adalah
gabungan diantara sesuatu-sesuatu tersebut yang telah kita sepakati sebagai
sebab pertama, ini akan membuat satu rantai sebab tanpa ujung lagi, dan telah
dibuktikan bahwa ini tidak mungkin. Kemungkinan lain adalah bahwa memang ada
sebab selain dirinya yang memberikan keberadaan pada sesuatu-sesuatu ini, dan
berarti sesuatu-sesuatu ini maupun gabungannya bukanlah merupakan sebab
pertama.
          Sebab pertam itu tidak bersifat material. Kenapa? Karena
materi adalah sesuatu yag terbatas oleh ruang dan waktu. Jika sebab pertama itu
materi, maka ia terbatas oleh ruang dan waktu. Ada dua keadaan yang mungkin di
sini. Kemungkinan pertama adalah ruang dan waktu adalah sesuatu yang lebih luas
dari sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk
sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab
pertama. Karena sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri maka sesuatu selain
sebab pertama itu tidak ada. Kemungkinan kedua adalah bahwa sebab pertama
tersbeut adalah ruang dan waktu itu sendiri. Kalau sebab pertama identik dengan
ruang dan waktu, berarti ia terbagi, karena ruang dan waktu dapat dibagi
menjadi bagian-bagian ruang dan bagian-bagian waktu yang lebih kecil. Dan ini
kontradiksi, karena keberadaan mutlak tidak terbagai.
          Jadi dapat dibayangkan bahwa sumber segala yang maujud
adalah Matahai Wujud Mutlaq yang memancarkan cahaya wujudnya, memberikan
keberadaan dari segala sesuatu yang ada. Mentari ini bukanlah merupakan sesuatu
yang material, ia tidak terikat ruang dan waktu, tapi meliputi itu semua,
karena Ia lah yang memberikan keberadaan pada wujud-wujud mungkin selain
diriNya. Sang Maha Surya perkasa yang ada di ufuk tertinggi langit dari segala
sesuatu. Demikianlah maka terucap baris pertama dari sya’ir di atas.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar