Adapun mengapa terjadi siang dan
malam? Panas (“yang”) dan dingin (“im”)? Kebaikan dan keburukan? Tinggi dan
rendah? Keindahan dan kejelekan? Nikmat dan sakit? Pahala dan dosa? Tua dan
muda? Besar dan kecil? Terang dan gelap?
          Kenapa terjadi Dualisme-Dualisme?
Mengapa ada kutub-kutub? Dan lebih lanjut dari dualisme-dualisme ini muncul
pula berbagai hal yang plural? Apakah hal-hal yang berkutub ganda ataupun
hal-hal yang plural ini eksis secara objektif? Ataukah mereka hanya eksis
secara subyektif?
          Apakah benar terdapat kebaikan dan
kejahatan? Kebenaran dan kesesatan?
          Prinsip kausalitas menyatakan bahwa
suatu Sebab tertentu akan menimbulkan akibat tertentu pula. Tidak mungkin suatu
Sebab yang sama menghasilkan berbagai macam akibat. Maka tidak mungkin Sesuatu
yang secara obyektif tidak terbagi menjadi Sebab bagi suatu akibat yang secara
obyektif terbagi. Karena jika akibat yang 
ditimbulkannya secara obyektif terbagi pasti membutuhkan sebab lain yang
menimbulkan “keduaan” atau “kepluralan” akibat obyektif. Jadi dalam hal Sebab
Pertama, tidak mungkin ia menjadi Sebab dari akibat yang terbagi secara
obyektif, karena Sebab Pertama tidak terbagi. Karena Semua adalah akibat dari
rantai sebab yang berujung pada Sebab Pertama, maka tidak mungkin dua hal yang
secara logis kontradiktif kedua-duanya eksis secara obyektif. Jika yang satu
eksis secara obyektif maka yang lain pasti tidak eksis secara obyektif.
          Jadi jika Kebaikan Ada maka kejahatan
tiada. Konsepsi subyektif kita akan ketidakadaan kebaikan dalam sesuatu itulah
yang disebut kejahatan. Jadi kejahatan mungkin ada secara subyektif dalam
artian negasi dari Kebaikan. Demikian pula dengan Tinggi dan rendah, Besar dan
kecil, Panas dan dingin, Muthlaq dan relatif, Terang dan gelap.
          Dengan adanya dualisme-dualisme dalam
konsepsi subyektif kita, terdapat ruang-ruang pengertian, relung-relung
pengertian “dua-dua”. Dan karenanya gabungan subyektif-subyektifitas ini bisa
menghasilkan pluralitas. Jadi yang plural (al-katsrah)
itu ada secara subyektif, dan tidak ada secara obyektif. Dengan kata lain ia
hanya ada dalam alam imajinasi.
          Ada sebuah perumpamaan yang amat
mengesankan dalam Kuliah YM Ytc. ‘Allamah Sayyid Musa bin Husein Al-Habsyi
Al-Bangili, -seorang Ahli Hikmah Besar dari Bangil-, dalam kuliah beliau
tentang Wahdatul Wujud di kelompok studi Topika, Bandung yang beranggotakan
para aktifis Tarekat ‘Ubudiyyah. Beliau mengumpamakan fikiran manusia sebagai
prisma, dan Wujud sebagai cahaya putih. Ketika cahaya putih mengenai prisma,
prisma akan menguraikannya menjadi cahaya multi-warna (polikhromatis).
Prisma-lah yang memberikan nuansa merah, ungu, hijaui, biru, kuning, dan
berjuta warna-warna antara yang tak terhitung jumlahnya pada cahaya putih
tersebut. Demikian pula Wujud Fikiran dan pemahaman manusia-lah yang
“memberikan” berbagai nuansa pada Wujud Tunggal Maha Mutlak. Tiap pemahaman
manusia tentang Wujud adalah selarik cahaya hasil uraian prisma “fikirannya”,
sehingga dikatakan bahwa “Maha Suci Ia dari semua apa yang mereka sifatkan”.
          Siang berganti malam, menunjukkan
adanya gerak dan perubahan. Gerak adalah perpindahan keadaan dari suatu keadaan
ke keadaan yang lain. Gerak tidak mungkin terjadi jika pada suatu Ruang yang
memang hanya mengandung Satu Titik Mutlak. Karena berarti tidak akan terjadi
perubahan apapun. Karena itu minimal harus terdapat dua titik agar terjadi
gerak dan itulah makna Siang berganti malam. Siang berganti malam menunjukkan
bahwa minimal harus ada satu dualisme agar terjadi gerak. Dari ini menunjukkan
bahwa gerak sebagai gerak, -motion as
motion-, hanya eksis secara subyektif. Sari dari segenap alam adalah gerak,
alam tanpa gerak dan perubahan tidak mempunyai makna. Dalam pengertian yang
sederhana, dalam fikiran kita, ada Tuhan sebagai Sang Maha Sebab dan ada alam,
yaitu segala sesuatu yang bukan Tuhan. Karena dalam fikiran kita telah ada
minimal dua hal yaitu Tuhan dan bukan Tuhan maka dapat terjadi gerak, dan
itulah sari dari penciptaan itu sendiri. Namun perlu digaris-bawahi bahwa
ruang-ruang dualisme (keduaan) maupun pluralisme (kejamakan) di mana dapat
terjadi gerak tersebut, hanya memiliki eksistensi subyektif. Sehingga keduaan
dan kejamakan yang “ada” dalam berbagai perubahan hanya ada dalam imajinasi.
Dengan kata lain seluruh alam ini hanya “ada dan jamak” dalam imajinasi. Dan
sesungguhnya Semua ini “Ada dan Tunggal” secara obyektif.
          Maha Suci Ia yang menciptakan Siang
dan malam sebagai tanda, Yang menciptakan semua selain Ia dalam imajinasi, Yang
membiaskan berbagai peristiwa dalam prisma-prisma pemahaman hamba-Nya. Maha
Suci Ia Yang senantiasa menegaskan bahwa tiada selain Ia, tiadalah semua yang
tiada. Cahaya Wujud Yang Maha Tunggal memancar dan “dalam” imajinasi seolah
tampak keberadaan “ketiadaan”. Pancaran inilah sumber alam dan semua yang ada.
Tapi, sekali lagi, Tiada selain Wujud Tunggal ini, Tiada apapun selain Dia. Dia
dan tiada apapun selain Dia! Dia!
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar